Dahulu, perjuangan Syariat Islam dipeloporo oleh DI/TII di bawah komando Kahar Muzakkar. Meski sempat ditelan orba, perjuangan menegakkan hukum Allah tetap bersemi. Kini, era reformasi lahir Komite Penegakan Syariat Islam (KPSI). Sadar atau tidak sadar misinya sama dengan perjuangan Bung Kahar. Jika DI/TII lewat gencatan senjata, KPSI bermain politik dengan menggelindingkan bola salju otonomi khusus.
Komite Penegakan Syariat Islam Sulawesi Selatan telah melakukan kongres sebanyak dua kali. Hasilnya tetap bulat, satukan tekad menuju daerah otonomi khusus yang menegakkan Hukum Allah. Di tingkat pusat, lobi dan usaha meloloskan produk hukum seperti Nangroe Aceh Darussalam tersebut, tetap dilakukan secara politik. "Sampai sekarang teman-teman masih berusaha dengan cara politik. Memperjuangkan otonomi khusus. Dan informasi terakhir kita optimis karena dari survey tim bentukan pemerintah, sekitar 90% Warga Sulawesi Selatan menerima penegakan Syariat Islam," tutur Tamsil Linrung, Penasehat KPSI.
Sayangnya, usaha KPSI tingkat pusat tidak segencar dengan KPSI di tingkat cabang. Ada dua faktor membuat mandek. Bone misalnya, perjuangan pengurus terkesan pasif dan tidak memiliki konsep perjuangan jelas. Kelompok ini dinilai melenceng dari tujuan sebenarnya. Mereka cenderung refresif. Sehingga, nampaknya dalam menerapkan Syariat Islam kadang menggunakan cara kekerasan. "Ada kesan dalam menegakkan Syariat Islam, KPSI banyak terlibat dalam tindakan kekerasan di Sulsel. Tentu ini akan berimage negatif," tegas mantan Ketua PMII Cabang Bone, Andi Saifuddin S.Ag.
Sementara itu, salah seorang pengurus di tingkat cabang membenarkan keadaan ini. Sebabnya, menurut dia, kurangnya komitmen jelas ditingkat pengurus dalam mendakwahkan Syariat Islam yang sebenarnya. Belum lagi nuansa politik, kerap muncul dalam setiap program yang derencanakan. "KPSI terlalu bernuansa politik. Sebagai bukti, tidak ada komitmen untuk mewacanakan Syariat Islam secara berkesinambungan," tutur sumberyang tidak ingin identitasnya dipublikasikan.
Lain halnya diungkapkan Tamsil. Orang yang sempat diisukan berada dibalik peledakan Bom Makassar ini. menilai perlunya pengurus memperkuat jaringan kordinasi dengan tingkat daerah. Sebagai contoh kecil, Bom Makassar. Hampir saja, perjuangan murni KPSI diambang keberhasilan, tercoreng. "Harus diakui peristiwa di Makassar (baca: pemboman KFC di MARI), hampir mencederai perjuangan KPSI. Sadar atau tidak, akibat teror bom, kinerja kepolisian selalu menyoroti pergerakan-pergerakan seperti ini," ujar Tamsi.
Lebih jauh Tamsil berpesan agar KPSI membantu kepolisian mengungkap sedetail-detailnya peristiwa bom malam takbiran tersebut. Setidaknya KPSI mampu menjelaskan misinya yang betul-betul berjuang secara politik. Sebaliknya, Kepolisian diharapkan mengedepankan sikap profesional, dan tidak mencap sebuah kelompok tanpa bukti kongkrit.
Kelemahan lainnya, menurut Saifuddin, konsep penegakan Syariat hanya melibatkan satu komponen masyarakat Islam. Tentu komponen lainnya yang merasa berkompeten, secara tidak langsung down dan menyebabkan turunya simpati.
Lanjut, Saifuddin memandang KPSI harus membuka diri terhadap pendangan Syariat Islam yang dilontarkan sejumlah elemen masyarakat. Sehingga dalam penerapannya, hukum Allah tidak terkesan doktrin sebuah organisasi.
Berbeda dengan Saifuddin, Tamsil menilai pasifnya pengurus cabang hanya faktor suksesi yang lagi hangat di tiap daerah. Mengenai program, pengurus cabang lebih tahu apa yang harus dikerjakan dalam mewujudkan misi ini.
"Saya melihat hanya karena kita sibuk dengan suksesi," tutupnya.
Syariat Islam memang sangat unik dan menarik untuk dibicarakan. Dalam kalangan interen saja masih terjadi silang pendapat. Ada menganggap cukup dipenetrasikan saja ke produk hukum nasional, namun tidak sedikit pula menginginkan dalam bentuk penerapan formal.
"Itulah sebenarnya polemik yang belum bisa teratasi. Tapi dalam kesatuan bukan berarti kami terpecah, wacana ini hanyalah gambaran mencari format yang tepat dan jelas," komentar sekertaris KPSI Bone, Drs. Ruslang, M.Ag.
0 Komentar